Makalah 134   Paper 134
Tahun-tahun Peralihan   The Transition Years
134:0.1 (1483.1) SELAMA perjalanan Mediterania, Yesus telah mempelajari dengan cermat orang-orang yang ia temui dan negara-negara yang ia lewati, dan di sekitar masa inilah ia mencapai keputusan akhir tentang sisa hidupnya di bumi. Dia telah sepenuhnya mempertimbangkan dan kini akhirnya menyetujui rencana yang menetapkan agar ia dilahirkan dari orang tua Yahudi di Palestina, dan karena itu ia sengaja kembali ke Galilea untuk menunggu permulaan pekerjaan utama hidupnya sebagai guru kebenaran untuk masyarakat umum; ia mulai meletakkan rencana untuk karier publik di tanah bangsa ayahnya Yusuf, dan ia melakukan ini dari kemauan bebasnya sendiri.   134:0.1 (1483.1) DURING the Mediterranean journey Jesus had carefully studied the people he met and the countries through which he passed, and at about this time he reached his final decision as to the remainder of his life on earth. He had fully considered and now finally approved the plan which provided that he be born of Jewish parents in Palestine, and he therefore deliberately returned to Galilee to await the beginning of his lifework as a public teacher of truth; he began to lay plans for a public career in the land of his father Joseph’s people, and he did this of his own free will.
134:0.2 (1483.2) Yesus telah menemukan melalui pengalaman pribadi dan manusiawi bahwa Palestina adalah tempat terbaik di seluruh dunia Romawi dimana ia akan menentukan babak-babak penutup, dan untuk menggelar adegan-adegan terakhir, dari hidupnya di bumi. Untuk pertama kalinya ia menjadi sepenuhnya puas dengan program untuk mewujudkan secara terbuka kodrat sesungguhnya dan mengungkapkan identitas ilahinya di antara orang Yahudi dan orang non-Yahudi di negeri asalnya Palestina. Ia dengan pasti memutuskan untuk mengakhiri hidupnya di bumi dan untuk menyelesaikan karier kehidupan fananya di tanah yang sama dimana ia memasuki pengalaman manusiawi sebagai bayi yang tak berdaya. Karier Urantianya dimulai di tengah orang-orang Yahudi di Palestina, dan ia memilih untuk mengakhiri hidupnya di Palestina dan di antara orang-orang Yahudi.   134:0.2 (1483.2) Jesus had found out through personal and human experience that Palestine was the best place in all the Roman world wherein to set forth the closing chapters, and to enact the final scenes, of his life on earth. For the first time he became fully satisfied with the program of openly manifesting his true nature and of revealing his divine identity among the Jews and gentiles of his native Palestine. He definitely decided to finish his life on earth and to complete his career of mortal existence in the same land in which he entered the human experience as a helpless babe. His Urantia career began among the Jews in Palestine, and he chose to terminate his life in Palestine and among the Jews.
1. Tahun Ketiga Puluh (24 M) ^top   1. The Thirtieth Year (A.D. 24) ^top
134:1.1 (1483.3) Setelah berpisah dari Gonod dan Ganid di Charax (dalam bulan Desember 23 M), Yesus kembali melalui Ur ke Babilon, dimana ia bergabung dengan sebuah kafilah gurun yang sedang dalam perjalanan ke Damaskus. Dari Damaskus ia pergi ke Nazaret, singgah hanya beberapa jam di Kapernaum, dimana ia berhenti sejenak untuk menyapa keluarga Zebedeus. Di sana ia bertemu Yakobus saudaranya, yang beberapa waktu sebelumnya datang untuk bekerja menggantikannya di bengkel kapal Zebedeus. Setelah berbicara dengan Yakobus dan Yudas adiknya (yang juga kebetulan berada di Kapernaum) dan setelah menyerahkan ke Yakobus adiknya rumah kecil yang dibelikan oleh Yohanes Zebedeus itu, Yesus melanjutkan pergi ke Nazaret.   134:1.1 (1483.3) After taking leave of Gonod and Ganid at Charax (in December of a.d. 23), Jesus returned by way of Ur to Babylon, where he joined a desert caravan that was on its way to Damascus. From Damascus he went to Nazareth, stopping only a few hours at Capernaum, where he paused to call on Zebedee’s family. There he met his brother James, who had sometime previously come over to work in his place in Zebedee’s boatshop. After talking with James and Jude (who also chanced to be in Capernaum) and after turning over to his brother James the little house which John Zebedee had managed to buy, Jesus went on to Nazareth.
134:1.2 (1483.4) Pada akhir perjalanan Mediteranianya, Yesus telah menerima uang cukup untuk memenuhi biaya hidupnya hampir sampai saat awal pelayanan publiknya. Tetapi selain dari Zebedeus dari Kapernaum dan orang-orang yang ia temui dalam perjalanan yang luar biasa ini, dunia tidak pernah tahu bahwa ia melakukan perjalanan ini. Keluarganya selalu percaya bahwa ia menghabiskan waktu ini dalam studi di Aleksandria. Yesus tidak pernah membenarkan keyakinan ini, ia juga tidak membuat penyangkalan terbuka terhadap kesalahpahaman tersebut.   134:1.2 (1483.4) At the end of his Mediterranean journey Jesus had received sufficient money to meet his living expenses almost up to the time of the beginning of his public ministry. But aside from Zebedee of Capernaum and the people whom he met on this extraordinary trip, the world never knew that he made this journey. His family always believed that he spent this time in study at Alexandria. Jesus never confirmed these beliefs, neither did he make open denial of such misunderstandings.
134:1.3 (1483.5) Selama tinggal beberapa minggu di Nazaret, Yesus bercakap-cakap dengan keluarga dan teman-temannya, menghabiskan beberapa waktu di toko reparasi dengan saudaranya Yusuf, tetapi menggunakan sebagian besar perhatiannya kepada Maria dan Rut. Rut saat itu berusia hampir lima belas tahun, dan ini adalah kesempatan pertama Yesus untuk melakukan pembicaraan panjang dengannya sejak ia telah menjadi seorang perempuan muda.   134:1.3 (1483.5) During his stay of a few weeks at Nazareth, Jesus visited with his family and friends, spent some time at the repair shop with his brother Joseph, but devoted most of his attention to Mary and Ruth. Ruth was then nearly fifteen years old, and this was Jesus’ first opportunity to have long talks with her since she had become a young woman.
134:1.4 (1484.1) Baik Simon dan Yudas telah selama beberapa waktu ingin menikah, tetapi mereka tidak suka untuk melakukan hal ini tanpa persetujuan Yesus; maka sesuai dengan hal itu mereka telah menunda peristiwa ini, berharap untuk kembalinya kakak tertua mereka. Meskipun mereka semua menganggap Yakobus sebagai kepala keluarga dalam banyak hal, namun ketika itu untuk hal menikah, mereka ingin berkat dari Yesus. Jadi Simon dan Yudas menikah dalam sebuah pernikahan ganda pada awal Maret tahun ini, 24 M. Semua anak-anak yang lebih tua sekarang sudah menikah; hanya Rut, yang bungsu, tetap di rumah dengan Maria.   134:1.4 (1484.1) Both Simon and Jude had for some time wanted to get married, but they had disliked to do this without Jesus’ consent; accordingly they had postponed these events, hoping for their eldest brother’s return. Though they all regarded James as the head of the family in most matters, when it came to getting married, they wanted the blessing of Jesus. So Simon and Jude were married at a double wedding in early March of this year, a.d. 24. All the older children were now married; only Ruth, the youngest, remained at home with Mary.
134:1.5 (1484.2) Yesus bercakap-cakap dengan anggota keluarganya satu persatu cukup normal dan alami, tetapi kalau mereka semua sedang bersama-sama, ia begitu sedikit berkata-kata sehingga mereka berkomentar tentang hal itu di antara mereka sendiri. Maria terutama yang gelisah dengan perilaku aneh yang tidak biasa dari putra sulungnya ini.   134:1.5 (1484.2) Jesus visited with the individual members of his family quite normally and naturally, but when they were all together, he had so little to say that they remarked about it among themselves. Mary especially was disconcerted by this unusually peculiar behavior of her first-born son.
134:1.6 (1484.3) Sekitar pada waktu Yesus sedang mempersiapkan diri untuk meninggalkan Nazaret, pemimpin sebuah kafilah besar yang sedang melewati kota itu jatuh sakit parah, dan Yesus, sebagai ahli bahasa, mengajukan diri sukarela untuk menggantikannya. Karena perjalanan ini akan mengharuskan ketidak-hadirannya selama satu tahun, dan lantaran semua saudaranya sudah menikah dan ibunya tinggal di rumah dengan Rut, Yesus mengadakan konferensi keluarga dimana ia mengusulkan agar ibunya dan Rut pergi ke Kapernaum untuk tinggal di rumah yang baru-baru ini telah ia berikan kepada Yakobus. Oleh karena itu, beberapa hari setelah Yesus berangkat dengan karavan, Maria dan Rut pindah ke Kapernaum, dimana mereka tinggal selama sisa hidup Maria di rumah yang Yesus telah sediakan. Yusuf dan keluarganya pindah ke rumah Nazaret yang lama.   134:1.6 (1484.3) About the time Jesus was preparing to leave Nazareth, the conductor of a large caravan which was passing through the city was taken violently ill, and Jesus, being a linguist, volunteered to take his place. Since this trip would necessitate his absence for a year, and inasmuch as all his brothers were married and his mother was living at home with Ruth, Jesus called a family conference at which he proposed that his mother and Ruth go to Capernaum to live in the home which he had so recently given to James. Accordingly, a few days after Jesus left with the caravan, Mary and Ruth moved to Capernaum, where they lived for the rest of Mary’s life in the home that Jesus had provided. Joseph and his family moved into the old Nazareth home.
134:1.7 (1484.4) Ini adalah salah satu tahun yang lebih tidak biasa dalam pengalaman batiniah Anak Manusia; kemajuan besar dibuat dalam menghasilkan keharmonisan kerja antara batin manusiawinya dan Pelaras yang mendiaminya. Pelaras telah secara aktif terlibat dalam penataan ulang pemikiran dan melatih batin untuk peristiwa-peristiwa besar yang tidak terlalu lama lagi di masa depan. Kepribadian Yesus sedang mempersiapkan perubahan besar dalam sikapnya terhadap dunia. Inilah masa-masa antara, tahap peralihan dari sosok yang mulai hidup sebagai Tuhan yang tampil sebagai manusia, dan yang sekarang bersiap untuk menyelesaikan karier buminya sebagai manusia tampil sebagai Tuhan.   134:1.7 (1484.4) This was one of the more unusual years in the inner experience of the Son of Man; great progress was made in effecting working harmony between his human mind and the indwelling Adjuster. The Adjuster had been actively engaged in reorganizing the thinking and in rehearsing the mind for the great events which were in the not then distant future. The personality of Jesus was preparing for his great change in attitude toward the world. These were the in-between times, the transition stage of that being who began life as God appearing as man, and who was now making ready to complete his earth career as man appearing as God.
2. Perjalanan Kafilah ke Kaspia ^top   2. The Caravan Trip to the Caspian ^top
134:2.1 (1484.5) Tanggal satu April, 24 M, Yesus meninggalkan Nazaret pada perjalanan kafilah ke wilayah Laut Kaspia. Kafilah dimana Yesus bergabung sebagai pemimpin perjalanan (konduktor) sedang pergi dari Yerusalem melalui Damaskus dan Danau Urmia melalui Asyur, Media, dan Parthia menuju ke bagian tenggara kawasan Laut Kaspia. Setahun penuh berlalu sebelum ia kembali dari perjalanan ini.   134:2.1 (1484.5) It was the first of April, a.d. 24, when Jesus left Nazareth on the caravan trip to the Caspian Sea region. The caravan which Jesus joined as its conductor was going from Jerusalem by way of Damascus and Lake Urmia through Assyria, Media, and Parthia to the southeastern Caspian Sea region. It was a full year before he returned from this journey.
134:2.2 (1484.6) Bagi Yesus perjalanan kafilah ini adalah satu lagi petualangan eksplorasi dan pelayanan pribadi. Ia mendapat suatu pengalaman menarik bersama keluarga kafilahnya—para penumpang, pengawal, dan pengendara unta. Puluhan pria, wanita, dan anak-anak yang tinggal sepanjang rute yang dilalui kafilah itu mengalami kehidupan yang lebih kaya sebagai hasil dari kontak mereka dengan Yesus, yang bagi mereka adalah konduktor luar biasa dari sebuah kafilah biasa. Tidak semua yang menikmati kesempatan pelayanan pribadinya ini mendapat manfaat dari hal itu, namun sebagian besar dari mereka yang bertemu dan berbicara dengannya dibuat menjadi lebih baik untuk sisa hidup alami mereka.   134:2.2 (1484.6) For Jesus this caravan trip was another adventure of exploration and personal ministry. He had an interesting experience with his caravan family—passengers, guards, and camel drivers. Scores of men, women, and children residing along the route followed by the caravan lived richer lives as a result of their contact with Jesus, to them, the extraordinary conductor of a commonplace caravan. Not all who enjoyed these occasions of his personal ministry profited thereby, but the vast majority of those who met and talked with him were made better for the remainder of their natural lives.
134:2.3 (1484.7) Dari semua perjalanan dunianya, perjalanan Laut Kaspia ini membawa Yesus paling dekat ke Dunia Timur dan memungkinkan dia untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang bangsa-bangsa Timur Jauh. Ia membuat kontak mendalam dan pribadi dengan setiap ras yang masih bertahan di Urantia kecuali ras merah. Ia sama-sama menikmati pelayanan pribadi untuk masing-masing ras yang bervariasi dan bangsa campuran ini, dan semua mereka menerima kebenaran hidup yang ia bawakan pada mereka. Orang-orang Eropa dari Barat Jauh dan bangsa-bangsa Asia dari Timur Jauh sama-sama memberikan perhatian pada kata-kata harapan dan hidup kekalnya dan sama-sama dipengaruhi oleh kehidupan pelayanan kasih dan pelayanan rohani yang ia hidupi dengan begitu menyenangkan di tengah mereka.   134:2.3 (1484.7) Of all his world travels this Caspian Sea trip carried Jesus nearest to the Orient and enabled him to gain a better understanding of the Far-Eastern peoples. He made intimate and personal contact with every one of the surviving races of Urantia excepting the red. He equally enjoyed his personal ministry to each of these varied races and blended peoples, and all of them were receptive to the living truth which he brought them. The Europeans from the Far West and the Asiatics from the Far East alike gave attention to his words of hope and eternal life and were equally influenced by the life of loving service and spiritual ministry which he so graciously lived among them.
134:2.4 (1485.1) Perjalanan kafilah itu berhasil dalam segala hal. Ini adalah episode yang paling menarik dalam kehidupan manusia Yesus, karena ia berfungsi selama tahun ini dalam kapasitas eksekutif, bertanggung jawab untuk barang-barang yang dipercayakan kepadanya dan untuk perjalanan aman orang-orang bepergian yang membentuk rombongan karavan itu. Dan ia dengan paling setia, dengan efisien, dan dengan bijaksana melaksanakan banyak tugasnya.   134:2.4 (1485.1) The caravan trip was successful in every way. This was a most interesting episode in the human life of Jesus, for he functioned during this year in an executive capacity, being responsible for the material intrusted to his charge and for the safe conduct of the travelers making up the caravan party. And he most faithfully, efficiently, and wisely discharged his multiple duties.
134:2.5 (1485.2) Sekembalinya dari kawasan Kaspia, Yesus menyerahkan kepemimpinan kafilah di Danau Urmia, dimana ia menunggu selama dua minggu lebih sedikit. Ia kembali sebagai penumpang bersama kafilah berikutnya yang menuju Damaskus, dimana para pemilik unta-unta itu berusaha meminta dia agar tetap bekerja untuk mereka. Sambil menolak tawaran ini, ia terus melanjutkan perjalanan dengan kereta kafilah ke Kapernaum, sampai pada pertama April, 25 M. Tidak lagi ia menganggap Nazaret sebagai rumahnya. Kapernaum telah menjadi rumah Yesus, Yakobus, Maria, dan Rut. Tetapi Yesus tidak pernah lagi tinggal bersama keluarganya; ketika di Kapernaum ia tinggal dengan keluarga Zebedeus.   134:2.5 (1485.2) On the return from the Caspian region, Jesus gave up the direction of the caravan at Lake Urmia, where he tarried for slightly over two weeks. He returned as a passenger with a later caravan to Damascus, where the owners of the camels besought him to remain in their service. Declining this offer, he journeyed on with the caravan train to Capernaum, arriving the first of April, a.d. 25. No longer did he regard Nazareth as his home. Capernaum had become the home of Jesus, James, Mary, and Ruth. But Jesus never again lived with his family; when in Capernaum he made his home with the Zebedees.
3. Kuliah Urmia ^top   3. The Urmia Lectures ^top
134:3.1 (1485.3) Dalam perjalanan ke Laut Kaspia, Yesus telah berhenti beberapa hari untuk istirahat dan pemulihan di kota Persia kuno Urmia di tepian barat Danau Urmia. Pada pulau terbesar dari gugusan pulau yang terletak tidak jauh lepas pantai dekat Urmia terdapat sebuah bangunan besar—sebuah amfiteater kuliah—yang didedikasikan untuk “roh agama.” Bangunan ini sebenarnya sebuah kuil untuk filsafat agama-agama.   134:3.1 (1485.3) On the way to the Caspian Sea, Jesus had stopped several days for rest and recuperation at the old Persian city of Urmia on the western shores of Lake Urmia. On the largest of a group of islands situated a short distance offshore near Urmia was located a large building—a lecture amphitheater—dedicated to the “spirit of religion.” This structure was really a temple of the philosophy of religions.
134:3.2 (1485.4) Kuil agama ini telah dibangun oleh seorang pedagang kaya warga Urmia dan ketiga anaknya. Orang ini adalah Cymboyton, dan terhitung di antara nenek moyangnya banyak bangsa yang berbeda-beda.   134:3.2 (1485.4) This temple of religion had been built by a wealthy merchant citizen of Urmia and his three sons. This man was Cymboyton, and he numbered among his ancestors many diverse peoples.
134:3.3 (1485.5) Ceramah dan diskusi di sekolah agama ini mulai pukul sepuluh setiap paginya dalam seminggu. Sesi sore dimulai pukul tiga, dan perdebatan malam dibuka pada pukul delapan. Cymboyton atau salah satu dari tiga anak laki-lakinya selalu memimpin sesi pengajaran, diskusi, dan debat ini. Pendiri sekolah agama yang unik ini hidup dan meninggal tanpa pernah mengungkapkan keyakinan agama pribadinya.   134:3.3 (1485.5) The lectures and discussions in this school of religion began at ten o’clock every morning in the week. The afternoon sessions started at three o’clock, and the evening debates opened at eight o’clock. Cymboyton or one of his three sons always presided at these sessions of teaching, discussion, and debate. The founder of this unique school of religions lived and died without ever revealing his personal religious beliefs.
134:3.4 (1485.6) Pada beberapa kesempatan Yesus ikut serta dalam diskusi-diskusi ini, dan sebelum ia meninggalkan Urmia, Cymboyton mengatur rencana dengan Yesus agar ia tinggal dengan mereka selama dua minggu pada perjalanan kembalinya dan memberikan dua puluh empat kuliah tentang “Persaudaraan Manusia,” dan untuk memimpin dua belas sesi malam pertanyaan, diskusi, dan perdebatan mengenai kuliahnya secara khusus dan tentang persaudaraan umat manusia pada umumnya.   134:3.4 (1485.6) On several occasions Jesus participated in these discussions, and before he left Urmia, Cymboyton arranged with Jesus to sojourn with them for two weeks on his return trip and give twenty-four lectures on “The Brotherhood of Men,” and to conduct twelve evening sessions of questions, discussions, and debates on his lectures in particular and on the brotherhood of men in general.
134:3.5 (1485.7) Sesuai dengan rencana ini, Yesus singgah di sana pada perjalanan pulang dan menyampaikan kuliah-kuliah ini. Kuliah ini adalah yang paling sistematis dan formal dari semua ajaran Guru di Urantia. Tidak pernah sebelum atau setelahnya dia berbicara begitu banyak tentang satu subjek seperti yang terkandung dalam kuliah dan diskusi tentang persaudaraan manusia ini. Pada kenyataannya kuliah ini adalah tentang “Kerajaan Tuhan” dan “Kerajaan-kerajaan Manusia.”   134:3.5 (1485.7) In accordance with this arrangement, Jesus stopped off on the return trip and delivered these lectures. This was the most systematic and formal of all the Master’s teaching on Urantia. Never before or after did he say so much on one subject as was contained in these lectures and discussions on the brotherhood of men. In reality these lectures were on the “Kingdom of God” and the “Kingdoms of Men.”
134:3.6 (1486.1) Lebih dari tiga puluh agama dan aliran keagamaan terwakili pada pengajar kuil filsafat agama ini. Guru-guru ini dipilih, didukung, dan diakui penuh oleh kelompok keagamaan masing-masing. Pada masa ini ada sekitar tujuh puluh lima guru di fakultas ini, dan mereka tinggal di pondok-pondok yang masing-masing menampung sekitar selusin orang. Setiap bulan baru kelompok-kelompok ini diubah dengan membuang undi. Intoleransi, kecenderungan suka berbantah, atau semua sifat lain yang mengganggu kelancaran komunitas itu akan berakibat pemecatan segera dan langsung terhadap guru yang mengganggu itu. Dia akan dipecat tanpa basa basi, dan orang alternatifnya yang menunggu akan segera menggantikannya.   134:3.6 (1486.1) More than thirty religions and religious cults were represented on the faculty of this temple of religious philosophy. These teachers were chosen, supported, and fully accredited by their respective religious groups. At this time there were about seventy-five teachers on the faculty, and they lived in cottages each accommodating about a dozen persons. Every new moon these groups were changed by the casting of lots. Intolerance, a contentious spirit, or any other disposition to interfere with the smooth running of the community would bring about the prompt and summary dismissal of the offending teacher. He would be unceremoniously dismissed, and his alternate in waiting would be immediately installed in his place.
134:3.7 (1486.2) Para guru dari berbagai agama ini membuat upaya besar untuk menunjukkan seberapa mirip agama mereka sehubungan dengan hal-hal mendasar dari kehidupan ini dan kehidupan berikutnya. Hanya ada satu doktrin yang harus diterima untuk mendapatkan kursi di fakultas ini—setiap guru harus mewakili agama yang mengakui Tuhan—suatu jenis Ketuhanan tertinggi. Ada lima guru independen di fakultas itu yang tidak mewakili agama terorganisir apapun, dan sebagai guru independen seperti itulah Yesus muncul di depan mereka.   134:3.7 (1486.2) These teachers of the various religions made a great effort to show how similar their religions were in regard to the fundamental things of this life and the next. There was but one doctrine which had to be accepted in order to gain a seat on this faculty—every teacher must represent a religion which recognized God—some sort of supreme Deity. There were five independent teachers on the faculty who did not represent any organized religion, and it was as such an independent teacher that Jesus appeared before them.
134:3.8 (1486.3) [Ketika kami, para makhluk tengah, pertama mempersiapkan ringkasan ajaran Yesus di Urmia, timbullah perselisihan antara serafim jemaat (penjaga keagamaan) dan serafim kemajuan mengenai kebijaksanaan memasukkan ajaran-ajaran ini dalam Pewahyuan Urantia. Kondisi abad kedua puluh, yang berlaku baik dalam agama maupun pemerintahan manusia, adalah begitu berbeda dari yang berlaku pada zaman Yesus sehingga memang sulit untuk menyesuaikan ajaran Guru di Urmia terhadap masalah-masalah Kerajaan Tuhan dan kerajaan manusia sebagaimana fungsi-fungsi dunia ini ada pada abad kedua puluh. Kami tidak pernah mampu merumuskan pernyataan tentang ajaran Guru yang dapat diterima oleh kedua kelompok serafim pemerintahan planet ini. Akhirnya, Melkisedek ketua komisi pewahyuan menunjuk sebuah komisi tiga dari kami untuk mempersiapkan pandangan kami tentang ajaran Urmia Guru sebagaimana disesuaikan dengan kondisi agama dan politik abad kedua puluh di Urantia. Oleh karena itu, kami tiga makhluk tengah sekunder menyelesaikan penyesuaian ajaran Yesus tersebut, menyatakan ulang pernyataannya sebagaimana yang kami akan terapkan pada kondisi dunia masa kini, dan kami sekarang menyajikan laporan ini seperti demikian setelah diedit oleh Melkisedek ketua komisi pewahyuan.]   134:3.8 (1486.3) [When we, the midwayers, first prepared the summary of Jesus’ teachings at Urmia, there arose a disagreement between the seraphim of the churches and the seraphim of progress as to the wisdom of including these teachings in the Urantia Revelation. Conditions of the twentieth century, prevailing in both religion and human governments, are so different from those prevailing in Jesus’ day that it was indeed difficult to adapt the Master’s teachings at Urmia to the problems of the kingdom of God and the kingdoms of men as these world functions are existent in the twentieth century. We were never able to formulate a statement of the Master’s teachings which was acceptable to both groups of these seraphim of planetary government. Finally, the Melchizedek chairman of the revelatory commission appointed a commission of three of our number to prepare our view of the Master’s Urmia teachings as adapted to twentieth-century religious and political conditions on Urantia. Accordingly, we three secondary midwayers completed such an adaptation of Jesus’ teachings, restating his pronouncements as we would apply them to present-day world conditions, and we now present these statements as they stand after having been edited by the Melchizedek chairman of the revelatory commission.]
4. Kedaulatan—Ilahi dan Manusiawi ^top   4. Sovereignty—Divine and Human ^top
134:4.1 (1486.4) Persaudaraan manusia itu didirikan di atas dasar kebapaan Tuhan. Keluarga Tuhan itu berasal dari kasih Tuhan—Tuhan itu kasih. Tuhan sang Bapa secara ilahi mengasihi anak-anak-Nya, semua mereka.   134:4.1 (1486.4) The brotherhood of men is founded on the fatherhood of God. The family of God is derived from the love of God—God is love. God the Father divinely loves his children, all of them.
134:4.2 (1486.5) Kerajaan surga, pemerintahan ilahi, didirikan di atas dasar fakta kedaulatan ilahi—Tuhan adalah roh. Karena Tuhan adalah Roh, maka kerajaan ini adalah bersifat rohani. Kerajaan surga bukanlah bersifat jasmani ataupun semata-mata intelektual; kerajaan itu merupakan hubungan rohani antara Tuhan dan manusia.   134:4.2 (1486.5) The kingdom of heaven, the divine government, is founded on the fact of divine sovereignty—God is spirit. Since God is spirit, this kingdom is spiritual. The kingdom of heaven is neither material nor merely intellectual; it is a spiritual relationship between God and man.
134:4.3 (1486.6) Jika berbagai agama mengakui kedaulatan roh dari Tuhan sang Bapa, maka semua agama tersebut akan tetap damai. Hanya ketika satu agama menganggap bahwa agama itu dalam beberapa hal lebih unggul daripada semua yang lain, dan bahwa ia memiliki otoritas eksklusif atas agama-agama lain, maka agama tersebut berani menjadi tidak toleran terhadap agama-agama lain atau berani menganiaya umat beragama lain.   134:4.3 (1486.6) If different religions recognize the spirit sovereignty of God the Father, then will all such religions remain at peace. Only when one religion assumes that it is in some way superior to all others, and that it possesses exclusive authority over other religions, will such a religion presume to be intolerant of other religions or dare to persecute other religious believers.
134:4.4 (1487.1) Perdamaian keagamaan—persaudaraan—tak akan pernah ada kecuali semua agama bersedia untuk sepenuhnya melepaskan diri dari semua otoritas ekleastikal (organisasi keagamaan) dan sepenuhnya menyerahkan semua konsep tentang kedaulatan rohani. Tuhan saja yang adalah penguasa berdaulat roh.   134:4.4 (1487.1) Religious peace—brotherhood—can never exist unless all religions are willing to completely divest themselves of all ecclesiastical authority and fully surrender all concept of spiritual sovereignty. God alone is spirit sovereign.
134:4.5 (1487.2) Kamu tidak dapat memiliki kesetaraan di antara agama-agama (kemerdekaan beragama) tanpa melakukan perang agama kecuali semua agama menyetujui untuk pengalihan seluruh kedaulatan keagamaan kepada suatu tingkat di atas manusia, kepada Tuhan sendiri.   134:4.5 (1487.2) You cannot have equality among religions (religious liberty) without having religious wars unless all religions consent to the transfer of all religious sovereignty to some superhuman level, to God himself.
134:4.6 (1487.3) Kerajaan surga dalam hati umat manusia akan menciptakan kesatuan keagamaan (tidak harus keseragaman) karena setiap dan semua kelompok agama yang membentuk umat beragama tersebut akan bebas dari semua gagasan tentang otoritas ekleastikal (gerejawi atau organisasi keagamaan)—kedaulatan keagamaan.   134:4.6 (1487.3) The kingdom of heaven in the hearts of men will create religious unity (not necessarily uniformity) because any and all religious groups composed of such religious believers will be free from all notions of ecclesiastical authority—religious sovereignty.
134:4.7 (1487.4) Tuhan itu roh, dan Tuhan mengaruniakan sebuah fragmen (pecahan) dari diri roh-Nya untuk tinggal dalam hati manusia. Secara rohani, semua manusia itu setara. Kerajaan surga itu bebas dari kasta, kelas, tingkatan sosial, dan kelompok ekonomi. Kalian semua adalah saudara.   134:4.7 (1487.4) God is spirit, and God gives a fragment of his spirit self to dwell in the heart of man. Spiritually, all men are equal. The kingdom of heaven is free from castes, classes, social levels, and economic groups. You are all brethren.
134:4.8 (1487.5) Namun saat kalian kehilangan pandangan tentang kedaulatan roh Tuhan sang Bapa itu, maka salah satu agama akan mulai menegaskan keunggulannya atas agama-agama lain; dan kemudian, bukannya damai di bumi dan sejahtera di antara manusia, akan mulailah perselisihan, saling tuding, bahkan perang agama, setidaknya perang antara pengikut agama.   134:4.8 (1487.5) But the moment you lose sight of the spirit sovereignty of God the Father, some one religion will begin to assert its superiority over other religions; and then, instead of peace on earth and good will among men, there will start dissensions, recriminations, even religious wars, at least wars among religionists.
134:4.9 (1487.6) Makhluk-makhluk yang berkehendak bebas yang menganggap diri mereka setara, kecuali mereka satu sama lain saling mengakui diri mereka tunduk pada suatu suprakedaulatan, suatu otoritas yang lebih dan di atas diri mereka sendiri, maka cepat atau lambat mereka akan tergoda untuk mencobakan kemampuan mereka agar mendapatkan kekuasaan dan otoritas atas orang dan kelompok lain. Konsep kesetaraan tidak pernah membawa damai kecuali pengakuan bersama akan suatu pengaruh suprakedaulatan yang mengendalikan semuanya.   134:4.9 (1487.6) Freewill beings who regard themselves as equals, unless they mutually acknowledge themselves as subject to some supersovereignty, some authority over and above themselves, sooner or later are tempted to try out their ability to gain power and authority over other persons and groups. The concept of equality never brings peace except in the mutual recognition of some overcontrolling influence of supersovereignty.
134:4.10 (1487.7) Para agamawan Urmia hidup bersama secara relatif damai dan tenang karena mereka telah sepenuhnya menundukkan semua gagasan mereka tentang kedaulatan agama. Secara rohani, mereka semua percaya akan suatu Tuhan yang berdaulat; secara sosial, otoritas penuh dan tak terlawan berada pada pemimpin mereka—Cymboyton. Mereka juga tahu benar apa yang akan terjadi pada setiap guru yang berani menjadi berkuasa atas guru-guru rekannya yang lain. Tidak akan ada perdamaian agama yang bertahan lama di Urantia sampai semua kelompok agama secara bebas menundukkan semua gagasan mereka tentang perkenanan ilahi, umat pilihan, dan kedaulatan agama. Hanya ketika Tuhan sang Bapa menjadi kehendak tertinggi maka manusia menjadi saudara-saudara yang beragama dan hidup bersama dalam perdamaian keagamaan di bumi.   134:4.10 (1487.7) The Urmia religionists lived together in comparative peace and tranquillity because they had fully surrendered all their notions of religious sovereignty. Spiritually, they all believed in a sovereign God; socially, full and unchallengeable authority rested in their presiding head—Cymboyton. They well knew what would happen to any teacher who assumed to lord it over his fellow teachers. There can be no lasting religious peace on Urantia until all religious groups freely surrender all their notions of divine favor, chosen people, and religious sovereignty. Only when God the Father becomes supreme will men become religious brothers and live together in religious peace on earth.
5. Kedaulatan Politik ^top   5. Political Sovereignty ^top
134:5.1 (1487.8) [Meskipun ajaran Guru tentang kedaulatan Tuhan adalah suatu kebenaran—namun hanya menjadi makin rumit oleh kemunculan berikutnya agama tentang dirinya di tengah agama-agama dunia—presentasinya mengenai kedaulatan politik itu sangat dibuat menjadi rumit oleh evolusi politik dari kehidupan berbangsa selama seribu sembilan ratus tahun terakhir dan lebih lagi. Pada zaman Yesus hanya ada dua kekuatan dunia besar—Kekaisaran Romawi di Barat dan Kekaisaran Han di Timur—dan keduanya ini secara luas dipisahkan oleh kerajaan Parthia dan oleh kawasan daratan Kaspia dan Turkestan yang berada di tengahnya. Oleh karena itu, dalam presentasi berikut ini kami buat menyimpang lebih jauh dari substansinya ajaran Guru di Urmia mengenai kedaulatan politik, pada saat yang sama mencoba untuk menggambarkan pentingnya ajaran tersebut karena bisa berlaku untuk tahap kritis tertentu dari evolusi kedaulatan politik dalam abad kedua puluh setelah Kristus.]   134:5.1 (1487.8) [While the Master’s teaching concerning the sovereignty of God is a truth—only complicated by the subsequent appearance of the religion about him among the world’s religions—his presentations concerning political sovereignty are vastly complicated by the political evolution of nation life during the last nineteen hundred years and more. In the times of Jesus there were only two great world powers—the Roman Empire in the West and the Han Empire in the East—and these were widely separated by the Parthian kingdom and other intervening lands of the Caspian and Turkestan regions. We have, therefore, in the following presentation departed more widely from the substance of the Master’s teachings at Urmia concerning political sovereignty, at the same time attempting to depict the import of such teachings as they are applicable to the peculiarly critical stage of the evolution of political sovereignty in the twentieth century after Christ.]
134:5.2 (1487.9) Perang di Urantia tidak akan pernah berakhir selama negara-negara berpegang pada pendapat khayalan tentang kedaulatan bangsa yang tak terbatas. Hanya ada dua tingkat kedaulatan relatif pada dunia yang dihuni: kehendak bebas rohani manusia perorangan dan kedaulatan kolektif umat manusia secara keseluruhan. Antara tingkat perorangan manusia dan tingkat total umat manusia itu, semua pengelompokan dan ikatan manusia itu adalah relatif, sementara, dan bernilai hanya sejauh hal-hal itu meningkatkan kesejahteraan, kebaikan, dan kemajuan perorangan dan total besar keplanetan—manusia dan umat manusia.   134:5.2 (1487.9) War on Urantia will never end so long as nations cling to the illusive notions of unlimited national sovereignty. There are only two levels of relative sovereignty on an inhabited world: the spiritual free will of the individual mortal and the collective sovereignty of mankind as a whole. Between the level of the individual human being and the level of the total of mankind, all groupings and associations are relative, transitory, and of value only in so far as they enhance the welfare, well-being, and progress of the individual and the planetary grand total—man and mankind.
134:5.3 (1488.1) Para guru agama harus selalu ingat bahwa kedaulatan rohani Tuhan itu mengalahkan semua loyalitas rohani yang berada di tengah dan di antaranya. Suatu hari para penguasa sipil akan belajar bahwa Yang Paling Tinggi memerintah dalam kerajaan-kerajaan manusia.   134:5.3 (1488.1) Religious teachers must always remember that the spiritual sovereignty of God overrides all intervening and intermediate spiritual loyalties. Someday civil rulers will learn that the Most Highs rule in the kingdoms of men.
134:5.4 (1488.2) Pemerintahan Yang Paling Tinggi dalam kerajaan manusia itu adalah tidak untuk kepentingan khusus suatu kelompok manusia istimewa tertentu. Tidak ada yang disebut “bangsa yang terpilih.” Pemerintahan Yang Paling Tinggi, pengendalian atas evolusi politik, adalah suatu pemerintahan yang dirancang untuk memupuk kebaikan terbesar pada jumlah terbesar semua orang dan untuk jangka waktu paling lama.   134:5.4 (1488.2) This rule of the Most Highs in the kingdoms of men is not for the especial benefit of any especially favored group of mortals. There is no such thing as a “chosen people.” The rule of the Most Highs, the overcontrollers of political evolution, is a rule designed to foster the greatest good to the greatest number of all men and for the greatest length of time.
134:5.5 (1488.3) Kedaulatan adalah kekuasaan dan hal itu tumbuh oleh pengorganisasian. Pertumbuhan dari pengorganisasian kekuasaan politik ini baik dan layak, karena hal itu cenderung untuk mencakup segmen-segmen yang makin melebar dari total umat manusia. Namun pertumbuhan organisasi politik yang sama ini menciptakan suatu masalah pada setiap tahap yang berada di tengah antara organisasi kekuasaan politik yang awal dan alami—yaitu keluarga—dan penyempurnaan akhir pertumbuhan politik—yaitu pemerintahan seluruh umat manusia, oleh seluruh umat manusia, dan untuk seluruh umat manusia.   134:5.5 (1488.3) Sovereignty is power and it grows by organization. This growth of the organization of political power is good and proper, for it tends to encompass ever-widening segments of the total of mankind. But this same growth of political organizations creates a problem at every intervening stage between the initial and natural organization of political power—the family—and the final consummation of political growth—the government of all mankind, by all mankind, and for all mankind.
134:5.6 (1488.4) Dimulai dari kekuasaan orang tua dalam kelompok keluarga, kedaulatan politik berkembang melalui pengorganisasian sementara keluarga saling tumpang tindih menjadi marga kerabat yang menjadi menyatu, karena berbagai alasan, menjadi unit-unit suku—kelompok-kelompok politik di atas kekerabatan. Dan kemudian, oleh perdagangan, perniagaan, dan penaklukan, suku-suku menjadi dipersatukan sebagai sebuah bangsa, sedangkan bangsa-bangsa itu sendiri kadang-kadang dipersatukan oleh kekaisaran.   134:5.6 (1488.4) Starting out with parental power in the family group, political sovereignty evolves by organization as families overlap into consanguineous clans which become united, for various reasons, into tribal units—superconsanguineous political groupings. And then, by trade, commerce, and conquest, tribes become unified as a nation, while nations themselves sometimes become unified by empire.
134:5.7 (1488.5) Ketika kedaulatan pindah dari kelompok yang lebih kecil kepada kelompok-kelompok yang lebih besar, perang-perang akan berkurang. Yaitu, perang-perang kecil antara bangsa-bangsa kecil berkurang, tetapi potensi perang yang lebih besar meningkat ketika bangsa-bangsa yang memegang kedaulatan itu menjadi makin lama makin besar. Tak lama lagi, ketika seluruh dunia telah dieksplorasi dan diduduki, ketika bangsa-bangsa menjadi hanya beberapa, kuat, dan berkuasa, saat bangsa-bangsa besar dan berdaulat ini saling bersentuhan perbatasan, ketika hanya lautan memisahkan mereka, maka panggung diatur untuk perang-perang besar, konflik seluruh dunia. Negara-negara yang disebut negara berdaulat tidak dapat bersinggungan tanpa menciptakan konflik dan menghasilkan perang.   134:5.7 (1488.5) As sovereignty passes from smaller groups to larger groups, wars are lessened. That is, minor wars between smaller nations are lessened, but the potential for greater wars is increased as the nations wielding sovereignty become larger and larger. Presently, when all the world has been explored and occupied, when nations are few, strong, and powerful, when these great and supposedly sovereign nations come to touch borders, when only oceans separate them, then will the stage be set for major wars, world-wide conflicts. So-called sovereign nations cannot rub elbows without generating conflicts and eventuating wars.
134:5.8 (1488.6) Kesulitan dalam evolusi kedaulatan politik dari keluarga kepada seluruh umat manusia, terletak pada resistensi-inersia yang ditunjukkan pada semua tingkatan yang ada di antaranya. Keluarga telah, kadang-kadang, menentang marga mereka, sementara marga dan suku sering memberontak pada kedaulatan negara teritorial. Setiap evolusi baru dan maju dari kedaulatan politik itu (dan selalu) dirintangi dan dihambat oleh “tahap-tahap perancah” dari perkembangan sebelumnya dalam organisasi politik. Hal ini benar karena loyalitas manusia itu, sekali dimobilisasi, sulit untuk berubah. Loyalitas yang sama yang memungkinkan evolusi suku, mempersulit evolusi suprasuku—yaitu negara teritorial. Dan loyalitas yang sama (patriotisme) itulah yang memungkinkan evolusi negara teritorial, sangat merumitkan perkembangan evolusi untuk pemerintahan seluruh umat manusia.   134:5.8 (1488.6) The difficulty in the evolution of political sovereignty from the family to all mankind, lies in the inertia-resistance exhibited on all intervening levels. Families have, on occasion, defied their clan, while clans and tribes have often been subversive of the sovereignty of the territorial state. Each new and forward evolution of political sovereignty is (and has always been) embarrassed and hampered by the “scaffolding stages” of the previous developments in political organization. And this is true because human loyalties, once mobilized, are hard to change. The same loyalty which makes possible the evolution of the tribe, makes difficult the evolution of the supertribe—the territorial state. And the same loyalty (patriotism) which makes possible the evolution of the territorial state, vastly complicates the evolutionary development of the government of all mankind.
134:5.9 (1488.7) Kedaulatan politik itu diciptakan dari penundukan penentuan nasib sendiri, pertama oleh individu di dalam keluarga dan kemudian oleh keluarga dan marga dalam kaitannya dengan suku dan pengelompokan yang lebih besar. Perpindahan progresif penentuan nasib sendiri dari organisasi politik yang lebih kecil menuju yang terus semakin besar ini pada umumnya berlangsung tanpa hambatan di Timur sejak berdirinya dinasti-dinasti Ming dan Mogul. Di Barat hal itu dicapai selama lebih dari seribu tahun hingga akhir Perang Dunia, ketika sangat disayangkan suatu gerakan mundur sementara membalikkan tren yang normal ini dengan menetapkan kembali kedaulatan politik yang terbenam dari banyak kelompok-kelompok kecil di Eropa.   134:5.9 (1488.7) Political sovereignty is created out of the surrender of self-determinism, first by the individual within the family and then by the families and clans in relation to the tribe and larger groupings. This progressive transfer of self-determination from the smaller to ever larger political organizations has generally proceeded unabated in the East since the establishment of the Ming and the Mogul dynasties. In the West it obtained for more than a thousand years right on down to the end of the World War, when an unfortunate retrograde movement temporarily reversed this normal trend by re-establishing the submerged political sovereignty of numerous small groups in Europe.
134:5.10 (1489.1) Urantia tidak akan menikmati perdamaian yang berlangsung lama sampai apa yang disebut negara-negara berdaulat itu dengan cerdas dan sepenuhnya menundukkan kekuasaan kedaulatan mereka ke tangan persaudaraan manusia—pemerintahan umat manusia. Internasionalisme—Liga Bangsa-Bangsa—tidak akan pernah dapat membawa perdamaian permanen bagi umat manusia. Konfederasi sedunia bangsa-bangsa akan secara efektif mencegah peperangan kecil dan bisa mengontrol bangsa-bangsa kecil, tetapi tidak akan mencegah perang dunia ataupun mengontrol tiga, empat, atau lima pemerintah yang paling kuat. Ketika menghadapi konflik yang sebenarnya, salah satu dari kekuatan dunia ini akan menarik diri dari Liga dan menyatakan perang. Kalian tidak dapat mencegah bangsa-bangsa pergi berperang selama mereka tetap terinfeksi oleh virus angan-angan tentang kedaulatan nasional. Internasionalisme merupakan satu langkah ke arah yang benar. Suatu pasukan polisi internasional akan mencegah banyak perang kecil, tetapi itu tidak akan efektif untuk mencegah perang besar, konflik antara pemerintah-pemerintah militer yang besar di bumi.   134:5.10 (1489.1) Urantia will not enjoy lasting peace until the so-called sovereign nations intelligently and fully surrender their sovereign powers into the hands of the brotherhood of men—mankind government. Internationalism—Leagues of Nations—can never bring permanent peace to mankind. World-wide confederations of nations will effectively prevent minor wars and acceptably control the smaller nations, but they will not prevent world wars nor control the three, four, or five most powerful governments. In the face of real conflicts, one of these world powers will withdraw from the League and declare war. You cannot prevent nations going to war as long as they remain infected with the delusional virus of national sovereignty. Internationalism is a step in the right direction. An international police force will prevent many minor wars, but it will not be effective in preventing major wars, conflicts between the great military governments of earth.
134:5.11 (1489.2) Sementara jumlah bangsa yang benar-benar berdaulat (adidaya-adidaya) berkurang, begitu juga kesempatan maupun kebutuhan untuk pemerintahan umat manusia meningkat. Ketika hanya ada beberapa kekuatan yang benar-benar berdaulat (besar), maka mereka harus menempuh perjuangan hidup atau mati untuk supremasi nasional (imperial), atau selain itu, oleh penyerahan sukarela hak prerogatif kedaulatan tertentu, mereka harus menciptakan inti pokok kekuatan supranasional yang akan berfungsi sebagai permulaan dari kedaulatan sebenarnya seluruh umat manusia.   134:5.11 (1489.2) As the number of truly sovereign nations (great powers) decreases, so do both opportunity and need for mankind government increase. When there are only a few really sovereign (great) powers, either they must embark on the life and death struggle for national (imperial) supremacy, or else, by voluntary surrender of certain prerogatives of sovereignty, they must create the essential nucleus of supernational power which will serve as the beginning of the real sovereignty of all mankind.
134:5.12 (1489.3) Perdamaian tidak akan datang ke Urantia sampai setiap bangsa yang disebut berdaulat itu menyerahkan kekuasaannya untuk berperang ke tangan pemerintahan perwakilan seluruh umat manusia. Kedaulatan politik itu adalah bawaan sejak lahir bangsa-bangsa di dunia. Ketika semua bangsa Urantia menciptakan pemerintahan dunia, mereka memiliki hak dan kekuasaan untuk membuat pemerintah tersebut BERDAULAT; dan ketika kekuasaan dunia perwakilan atau demokratis demikian itu menguasai kekuatan-kekuatan darat, udara, dan lautnya seluruh dunia, maka damai di bumi dan sejahtera di antara manusia bisa bertahan—tapi belum hingga saat ini.   134:5.12 (1489.3) Peace will not come to Urantia until every so-called sovereign nation surrenders its power to make war into the hands of a representative government of all mankind. Political sovereignty is innate with the peoples of the world. When all the peoples of Urantia create a world government, they have the right and the power to make such a government SOVEREIGN; and when such a representative or democratic world power controls the world’s land, air, and naval forces, peace on earth and good will among men can prevail—but not until then.
134:5.13 (1489.4) Menggunakan suatu ilustrasi penting abad kesembilan belas dan kedua puluh: Empat puluh delapan negara Uni Federal Amerika telah lama menikmati perdamaian. Mereka tidak berperang lagi di antara mereka sendiri. Mereka telah menyerahkan kedaulatan mereka kepada pemerintah federal, dan melalui arbitrase perang, mereka telah meninggalkan semua klaim terhadap angan-angan penentuan nasib sendiri itu. Sementara masing-masing negara bagian mengatur urusan internalnya, negara bagian itu tidak berurusan dengan hubungan luar negeri, tarif, imigrasi, urusan militer, atau perdagangan antar negara bagian. Tidak pula masing-masing negara menyibukkan diri dengan urusan kewarganegaraan. Empat puluh delapan negara menderita kerusakan akibat perang hanya ketika kedaulatan pemerintah federal dalam hal tertentu terancam.   134:5.13 (1489.4) To use an important nineteenth- and twentieth-century illustration: The forty-eight states of the American Federal Union have long enjoyed peace. They have no more wars among themselves. They have surrendered their sovereignty to the federal government, and through the arbitrament of war, they have abandoned all claims to the delusions of self-determination. While each state regulates its internal affairs, it is not concerned with foreign relations, tariffs, immigration, military affairs, or interstate commerce. Neither do the individual states concern themselves with matters of citizenship. The forty-eight states suffer the ravages of war only when the federal government’s sovereignty is in some way jeopardized.
134:5.14 (1489.5) Empat puluh delapan negara ini, setelah meninggalkan tipu muslihat kembar kedaulatan dan penentuan nasib sendiri, menikmati kedamaian dan ketenangan antar negara bagian. Demikian pula bangsa-bangsa Urantia akan mulai menikmati perdamaian ketika mereka dengan sukarela menyerahkan kedaulatan masing-masing ke tangan suatu pemerintahan global—kedaulatan dari persaudaraan umat manusia. Dalam keadaan dunia ini negara-negara kecil akan sekuat negara besar, seperti negara bagian Rhode Island yang kecil memiliki dua senator di Kongres Amerika sama seperti negara bagian New York yang padat atau negara bagian Texas yang luas.   134:5.14 (1489.5) These forty-eight states, having abandoned the twin sophistries of sovereignty and self-determination, enjoy interstate peace and tranquillity. So will the nations of Urantia begin to enjoy peace when they freely surrender their respective sovereignties into the hands of a global government—the sovereignty of the brotherhood of men. In this world state the small nations will be as powerful as the great, even as the small state of Rhode Island has its two senators in the American Congress just the same as the populous state of New York or the large state of Texas.
134:5.15 (1490.1) Kedaulatan terbatas (negara bagian) dari empat puluh delapan negara ini diciptakan oleh manusia dan untuk manusia. Kedaulatan supranegara bagian (nasional) Uni Federal Amerika itu diciptakan oleh tiga belas negara-negara awal ini untuk kepentingan mereka sendiri dan untuk kepentingan manusia. Suatu kali nanti kedaulatan supranasional dari pemerintahan keplanetan umat manusia akan diciptakan seperti itu juga oleh bangsa-bangsa untuk kepentingan mereka sendiri dan untuk kepentingan seluruh manusia.   134:5.15 (1490.1) The limited (state) sovereignty of these forty-eight states was created by men and for men. The superstate (national) sovereignty of the American Federal Union was created by the original thirteen of these states for their own benefit and for the benefit of men. Sometime the supernational sovereignty of the planetary government of mankind will be similarly created by nations for their own benefit and for the benefit of all men.
134:5.16 (1490.2) Warganegara tidak dilahirkan untuk kepentingan pemerintah; pemerintah-pemerintah itu adalah organisasi yang dibuat dan dilengkapi untuk kepentingan manusia. Tidak akan ada akhir untuk evolusi kedaulatan politik sebelum munculnya pemerintahan dari kedaulatan semua orang. Semua kedaulatan lainnya itu relatif dalam nilai, pertengahan dalam makna, dan bawahan dalam status.   134:5.16 (1490.2) Citizens are not born for the benefit of governments; governments are organizations created and devised for the benefit of men. There can be no end to the evolution of political sovereignty short of the appearance of the government of the sovereignty of all men. All other sovereignties are relative in value, intermediate in meaning, and subordinate in status.
134:5.17 (1490.3) Dengan kemajuan ilmiah, perang akan menjadi makin dan makin dahsyat sampai hal-hal itu menjadi hampir bunuh diri secara ras. Berapa banyak lagi perang dunia harus diperjuangkan dan berapa banyak liga bangsa-bangsa harus gagal sebelum umat manusia bersedia untuk membangun pemerintahan umat manusia dan mulai menikmati berkat-berkat perdamaian yang permanen dan berkembang pada ketenangan damai sejahtera—damai sejahtera seluruh dunia—di antara umat manusia?   134:5.17 (1490.3) With scientific progress, wars are going to become more and more devastating until they become almost racially suicidal. How many world wars must be fought and how many leagues of nations must fail before men will be willing to establish the government of mankind and begin to enjoy the blessings of permanent peace and thrive on the tranquillity of good will—world-wide good will—among men?
6. Hukum, Kemerdekaan, dan Kedaulatan ^top   6. Law, Liberty, and Sovereignty ^top
134:6.1 (1490.4) Jika satu orang mendambakan kebebasan—kemerdekaan—ia harus ingat bahwa semua orang lain juga rindu akan kebebasan yang sama. Kelompok-kelompok manusia pencinta kebebasan tersebut tidak dapat hidup bersama dalam damai tanpa menjadi tunduk kepada undang-undang, hukum, dan peraturan tersebut yang akan memberikan setiap orang derajat kebebasan yang sama sementara pada saat yang sama melindungi tingkat kebebasan yang sama bagi semua manusia sesamanya. Jika satu orang ingin benar-benar bebas mutlak, maka yang lain harus menjadi budak mutlak. Dan sifat relatif dari kebebasan itu benar secara sosial, ekonomi, dan politik. Kebebasan itu adalah hadiah peradaban yang dimungkinkan oleh penegakan HUKUM.   134:6.1 (1490.4) If one man craves freedom—liberty—he must remember that all other men long for the same freedom. Groups of such liberty-loving mortals cannot live together in peace without becoming subservient to such laws, rules, and regulations as will grant each person the same degree of freedom while at the same time safeguarding an equal degree of freedom for all of his fellow mortals. If one man is to be absolutely free, then another must become an absolute slave. And the relative nature of freedom is true socially, economically, and politically. Freedom is the gift of civilization made possible by the enforcement of LAW.
134:6.2 (1490.5) Agama membuatnya secara rohani mungkin untuk mewujudkan persaudaraan manusia, tetapi hal itu akan memerlukan adanya pemerintah umat manusia untuk mengatur masalah sosial, ekonomi, dan politik yang terkait dengan tujuan kebahagiaan dan efisiensi manusia tersebut.   134:6.2 (1490.5) Religion makes it spiritually possible to realize the brotherhood of men, but it will require mankind government to regulate the social, economic, and political problems associated with such a goal of human happiness and efficiency.
134:6.3 (1490.6) Akan ada perang-perang dan desas-desus perang—bangsa akan bangkit melawan bangsa—selama kedaulatan politik dunia terbagi-bagi dan secara tidak adil dipegang oleh sekelompok negara-bangsa. Inggris, Skotlandia, dan Wales selalu bertarung satu sama lain sampai mereka menyerahkan kedaulatan masing-masing, menempatkannya dalam United Kingdom.   134:6.3 (1490.6) There shall be wars and rumors of wars—nation will rise against nation—just as long as the world’s political sovereignty is divided up and unjustly held by a group of nation-states. England, Scotland, and Wales were always fighting each other until they gave up their respective sovereignties, reposing them in the United Kingdom.
134:6.4 (1490.7) Satu lagi perang dunia yang lain akan mengajari negara-negara yang disebut berdaulat itu untuk membentuk semacam federasi, sehingga menciptakan sistem untuk mencegah perang-perang kecil, perang antara negara-negara yang lebih kecil. Tetapi perang-perang global akan terus berlanjut sampai pemerintahan umat manusia diciptakan. Kedaulatan global akan mencegah perang global—tidak ada yang lain bisa.   134:6.4 (1490.7) Another world war will teach the so-called sovereign nations to form some sort of federation, thus creating the machinery for preventing small wars, wars between the lesser nations. But global wars will go on until the government of mankind is created. Global sovereignty will prevent global wars—nothing else can.
134:6.5 (1490.8) Keempat puluh delapan negara bagian merdeka Amerika hidup bersama dalam damai. Ada di antara warganegara empat puluh delapan negara bagian ini yang berasal dari berbagai bangsa dan ras yang hidup di negara-negara Eropa yang selalu berperang itu. Orang-orang Amerika ini mewakili hampir semua agama dan sekte serta kultus keagamaan dari seluruh dunia yang luas, namun demikian di sini di Amerika Utara mereka hidup bersama dalam damai. Dan semua ini dimungkinkan karena empat puluh delapan negara ini telah menyerahkan kedaulatan mereka dan telah meninggalkan semua gagasan tentang apa yang dianggap hak-hak penentuan nasib sendiri.   134:6.5 (1490.8) The forty-eight American free states live together in peace. There are among the citizens of these forty-eight states all of the various nationalities and races that live in the ever-warring nations of Europe. These Americans represent almost all the religions and religious sects and cults of the whole wide world, and yet here in North America they live together in peace. And all this is made possible because these forty-eight states have surrendered their sovereignty and have abandoned all notions of the supposed rights of self-determination.
134:6.6 (1490.9) Hal perdamaian dunia ini bukan pertanyaan tentang persenjataan atau perlucutan senjata. Juga bukan pertanyaan wajib militer atau layanan militer sukarela itu masuk ke dalam masalah-masalah menjaga perdamaian seluruh dunia ini. Kalau kalian ambil setiap bentuk persenjataan mekanis modern dan segala jenis bahan peledak dari negara-negara yang kuat, mereka akan tetap bertarung dengan tinju, batu, dan pentungan selama mereka berpegang pada angan-angan khayalan mereka tentang hak ilahi kedaulatan nasional.   134:6.6 (1490.9) It is not a question of armaments or disarmament. Neither does the question of conscription or voluntary military service enter into these problems of maintaining world-wide peace. If you take every form of modern mechanical armaments and all types of explosives away from strong nations, they will fight with fists, stones, and clubs as long as they cling to their delusions of the divine right of national sovereignty.
134:6.7 (1491.1) Perang itu bukanlah penyakit besar dan mengerikan manusia; perang adalah suatu gejala, suatu akibat. Penyakit yang sebenarnya adalah virus kedaulatan nasional.   134:6.7 (1491.1) War is not man’s great and terrible disease; war is a symptom, a result. The real disease is the virus of national sovereignty.
134:6.8 (1491.2) Negara-negara Urantia belum memiliki kedaulatan yang sebenarnya; mereka belum pernah memiliki kedaulatan yang bisa melindungi mereka dari kerusakan dan kehancuran akibat perang-perang dunia. Dalam penciptaan pemerintahan global umat manusia, bangsa-bangsa tidak menyerahkan terlalu banyak kedaulatan karena mereka sebenarnya menciptakan kedaulatan dunia yang nyata, sejati, dan langgeng yang selanjutnya akan sepenuhnya mampu melindungi mereka dari semua perang. Urusan daerah akan ditangani oleh pemerintah daerah; urusan nasional oleh pemerintah nasional; urusan-urusan internasional akan dikelola oleh pemerintahan global.   134:6.8 (1491.2) Urantia nations have not possessed real sovereignty; they never have had a sovereignty which could protect them from the ravages and devastations of world wars. In the creation of the global government of mankind, the nations are not giving up sovereignty so much as they are actually creating a real, bona fide, and lasting world sovereignty which will henceforth be fully able to protect them from all war. Local affairs will be handled by local governments; national affairs, by national governments; international affairs will be administered by global government.
134:6.9 (1491.3) Perdamaian dunia tidak dapat dipertahankan oleh perjanjian, diplomasi, kebijakan luar negeri, aliansi, perimbangan kekuasaan, atau segala jenis utak-atik sementara lainnya dengan kedaulatan nasionalisme. Hukum dunia harus terwujud dan harus ditegakkan oleh pemerintahan dunia—kedaulatan seluruh umat manusia.   134:6.9 (1491.3) World peace cannot be maintained by treaties, diplomacy, foreign policies, alliances, balances of power, or any other type of makeshift juggling with the sovereignties of nationalism. World law must come into being and must be enforced by world government—the sovereignty of all mankind.
134:6.10 (1491.4) Individu akan menikmati jauh lebih banyak kebebasan di bawah pemerintahan dunia. Hari ini, warga kekuatan-kekuatan besar dunia dikenai pajak, diatur, dan dikuasai hampir secara ditindas, dan banyak dari campur tangan terhadap kebebasan individu ini akan lenyap ketika pemerintahan nasional bersedia mempercayakan kedaulatan mereka dalam hal urusan-urusan internasional ke tangan pemerintahan global.   134:6.10 (1491.4) The individual will enjoy far more liberty under world government. Today, the citizens of the great powers are taxed, regulated, and controlled almost oppressively, and much of this present interference with individual liberties will vanish when the national governments are willing to trustee their sovereignty as regards international affairs into the hands of global government.
134:6.11 (1491.5) Di bawah pemerintahan global kelompok-kelompok nasional akan diberikan kesempatan nyata untuk mewujudkan dan menikmati kebebasan pribadi dari demokrasi yang sejati. Pendapat salah tentang penentuan nasib sendiri itu akan diakhiri. Dengan regulasi global mata uang dan perdagangan maka akan datang era baru perdamaian di seluruh dunia. Segera satu bahasa global bisa berkembang, dan akan ada setidaknya harapan suatu kali memiliki satu agama global—atau agama-agama dengan sudut pandang global.   134:6.11 (1491.5) Under global government the national groups will be afforded a real opportunity to realize and enjoy the personal liberties of genuine democracy. The fallacy of self-determination will be ended. With global regulation of money and trade will come the new era of world-wide peace. Soon may a global language evolve, and there will be at least some hope of sometime having a global religion—or religions with a global viewpoint.
134:6.12 (1491.6) Keamanan kolektif tidak akan pernah mampu memberikan perdamaian sampai kolektivitas itu mencakup seluruh umat manusia.   134:6.12 (1491.6) Collective security will never afford peace until the collectivity includes all mankind.
134:6.13 (1491.7) Kedaulatan politik dari pemerintahan umat manusia yang berbentuk perwakilan itu akan membawa perdamaian yang langgeng di bumi, dan persaudaraan rohani manusia akan selamanya menjamin damai sejahtera di antara semua orang. Dan tidak ada cara lain dengan mana damai dan sejahtera di bumi di antara manusia dapat diwujudkan.   134:6.13 (1491.7) The political sovereignty of representative mankind government will bring lasting peace on earth, and the spiritual brotherhood of man will forever insure good will among all men. And there is no other way whereby peace on earth and good will among men can be realized.
* * *   * * *
134:6.15 (1491.8) Setelah meninggalnya Cymboyton, anak-anaknya mengalami kesulitan besar dalam mempertahankan staf pengajar agar tetap berdamai. Dampak dari ajaran Yesus itu akan jauh lebih besar seandainya guru-guru Kristen belakangan yang bergabung dengan fakultas Urmia itu menunjukkan lebih banyak kebijaksanaan dan melaksanakan lebih banyak toleransi.   134:6.15 (1491.8) After the death of Cymboyton, his sons encountered great difficulties in maintaining a peaceful faculty. The repercussions of Jesus’ teachings would have been much greater if the later Christian teachers who joined the Urmia faculty had exhibited more wisdom and exercised more tolerance.
134:6.16 (1491.9) Putra sulung Cymboyton telah mengajukan permohonan bantuan ke Abner di Filadelfia, tetapi sayang sekali guru-guru pilihannya Abner itu ternyata keras kepala dan tak berkompromi. Guru-guru ini berusaha untuk membuat agama mereka dominan atas keyakinan-keyakinan yang lain. Mereka tidak pernah menduga bahwa kuliah-kuliah dari konduktor kafilah yang sering disebut-sebut itu telah disampaikan oleh Yesus sendiri.   134:6.16 (1491.9) Cymboyton’s eldest son had appealed to Abner at Philadelphia for help, but Abner’s choice of teachers was most unfortunate in that they turned out to be unyielding and uncompromising. These teachers sought to make their religion dominant over the other beliefs. They never suspected that the oft-referred-to lectures of the caravan conductor had been delivered by Jesus himself.
134:6.17 (1491.10) Sementara kekacauan meningkat di antara para pengajar, tiga bersaudara itu menarik dukungan keuangan mereka, dan setelah lima tahun sekolah ditutup. Belakangan dibuka kembali sebagai kuil Mithras dan akhirnya terbakar habis sehubungan dengan salah satu perayaan gila-gilaan mereka.   134:6.17 (1491.10) As confusion increased in the faculty, the three brothers withdrew their financial support, and after five years the school closed. Later it was reopened as a Mithraic temple and eventually burned down in connection with one of their orgiastic celebrations.
7. Tahun Ketiga Puluh Satu (25 M) ^top   7. The Thirty-First Year (A.D. 25) ^top
134:7.1 (1492.1) Ketika Yesus kembali dari perjalanan ke Laut Kaspia, ia tahu bahwa perjalanan keliling dunianya telah hampir selesai. Ia membuat Shanya satu perjalanan ke luar Palestina, dan itu adalah ke Syria. Setelah kunjungan singkat ke Kapernaum, ia pergi ke Nazaret, singgah selama beberapa hari untuk berkunjung. Pada pertengahan April ia meninggalkan Nazaret ke Tirus. Dari sana ia melanjutkan perjalanan ke utara, singgah selama beberapa hari di Sidon, tetapi tujuannya adalah Antiokhia.   134:7.1 (1492.1) When Jesus returned from the journey to the Caspian Sea, he knew that his world travels were about finished. He made only one more trip outside of Palestine, and that was into Syria. After a brief visit to Capernaum, he went to Nazareth, stopping over a few days to visit. In the middle of April he left Nazareth for Tyre. From there he journeyed on north, tarrying for a few days at Sidon, but his destination was Antioch.
134:7.2 (1492.2) Tahun ini adalah tahun pengembaraan sendirian Yesus melalui Palestina dan Syria. Sepanjang tahun perjalanan ini ia dikenal dengan berbagai nama di berbagai bagian negeri: tukang kayu dari Nazaret, pembuat kapal dari Kapernaum, juru tulis dari Damaskus, dan guru dari Aleksandria.   134:7.2 (1492.2) This is the year of Jesus’ solitary wanderings through Palestine and Syria. Throughout this year of travel he was known by various names in different parts of the country: the carpenter of Nazareth, the boatbuilder of Capernaum, the scribe of Damascus, and the teacher of Alexandria.
134:7.3 (1492.3) Di Antiokhia, Anak Manusia hidup selama lebih dari dua bulan, bekerja, mengamati, mempelajari, mengunjungi, melayani, dan sambil belajar bagaimana manusia hidup, bagaimana manusia berpikir, berperasaan, dan bereaksi terhadap lingkungan keberadaan manusia. Selama tiga minggu dari periode ini ia bekerja sebagai pembuat tenda. Ia tinggal lebih lama di Antiokhia daripada semua tempat lain yang ia kunjungi pada perjalanan ini. Sepuluh tahun kemudian, ketika Rasul Paulus sedang berkhotbah di Antiokhia dan mendengar pengikutnya berbicara tentang doktrin-doktrin dari juru tulis Damaskus, ia tidak banyak tahu bahwa murid-muridnya telah mendengar suara, dan mendengarkan ajaran, dari sang Guru sendiri.   134:7.3 (1492.3) At Antioch the Son of Man lived for over two months, working, observing, studying, visiting, ministering, and all the while learning how man lives, how he thinks, feels, and reacts to the environment of human existence. For three weeks of this period he worked as a tentmaker. He remained longer in Antioch than at any other place he visited on this trip. Ten years later, when the Apostle Paul was preaching in Antioch and heard his followers speak of the doctrines of the Damascus scribe, he little knew that his pupils had heard the voice, and listened to the teachings, of the Master himself.
134:7.4 (1492.4) Dari Antiokhia Yesus berangkat ke selatan sepanjang pantai ke Kaisarea, dimana ia tinggal selama beberapa minggu, terus sepanjang ke pantai ke Yope (Joppa). Dari Yope ia melakukan perjalanan ke pedalaman ke Yamnia (Javne), Asdod, dan Gaza. Dari Gaza ia mengambil lintasan pedalaman ke Bersyeba, dimana ia tinggal selama seminggu.   134:7.4 (1492.4) From Antioch Jesus journeyed south along the coast to Caesarea, where he tarried for a few weeks, continuing down the coast to Joppa. From Joppa he traveled inland to Jamnia, Ashdod, and Gaza. From Gaza he took the inland trail to Beersheba, where he remained for a week.
134:7.5 (1492.5) Yesus kemudian mulai tur terakhirnya, sebagai individu pribadi, melalui jantung Palestina, pergi dari Bersyeba di selatan ke Dan di utara. Pada perjalanan ke utara ini ia berhenti di Hebron, Betlehem (dimana ia melihat tempat kelahirannya), Yerusalem (ia tidak mengunjungi Betania), Beerot, Lebona, Sikhar, Sikhem, Samaria, Geba, En-Ganim, Endor, Madon; melewati Magdala dan Kapernaum, ia terus berjalan ke utara, dan melewati sebelah timur Danau-danau Merom, ia pergi melalui Karahta ke Dan, atau Kaisarea Filipi.   134:7.5 (1492.5) Jesus then started on his final tour, as a private individual, through the heart of Palestine, going from Beersheba in the south to Dan in the north. On this journey northward he stopped at Hebron, Bethlehem (where he saw his birthplace), Jerusalem (he did not visit Bethany), Beeroth, Lebonah, Sychar, Shechem, Samaria, Geba, En-Gannim, Endor, Madon; passing through Magdala and Capernaum, he journeyed on north; and passing east of the Waters of Merom, he went by Karahta to Dan, or Caesarea-Philippi.
134:7.6 (1492.6) Pelaras Pikiran yang mendiaminya sekarang memimpin Yesus untuk meninggalkan tempat-tempat tinggal manusia dan membawa dirinya ke Gunung Hermon agar ia bisa menyelesaikan usahanya untuk menguasai batin manusiawinya dan menyelesaikan tugas untuk menghasilkan pengabdian penuhnya terhadap sisa pekerjaan hidupnya di bumi.   134:7.6 (1492.6) The indwelling Thought Adjuster now led Jesus to forsake the dwelling places of men and betake himself up to Mount Hermon that he might finish his work of mastering his human mind and complete the task of effecting his full consecration to the remainder of his lifework on earth.
134:7.7 (1492.7) Masa ini adalah salah satu dari masa yang tidak biasa dan luar biasa dalam kehidupan bumi Guru di Urantia. Masa yang lain dan yang sangat mirip adalah pengalamannya melewati saat ketika sendirian di perbukitan dekat Pella tepat setelah baptisannya. Periode kesendirian di Gunung Hermon ini menandai berakhirnya karier murni manusiawi, yaitu, penyelesaian teknis penganugerahan sebagai manusia, sedangkan kesendirian yang kemudian itu menandai awal dari fase penganugerahan yang lebih ilahi. Dan Yesus tinggal sendirian dengan Tuhan selama enam minggu di lereng-lereng Gunung Hermon.   134:7.7 (1492.7) This was one of those unusual and extraordinary epochs in the Master’s earth life on Urantia. Another and very similar one was the experience he passed through when alone in the hills near Pella just subsequent to his baptism. This period of isolation on Mount Hermon marked the termination of his purely human career, that is, the technical termination of the mortal bestowal, while the later isolation marked the beginning of the more divine phase of the bestowal. And Jesus lived alone with God for six weeks on the slopes of Mount Hermon.
8. Kunjungan di Gunung Hermon ^top   8. The Sojourn on Mount Hermon ^top
134:8.1 (1492.8) Setelah menghabiskan beberapa waktu di sekitar Kaisarea-Filipi, Yesus menyiapkan perbekalannya, dan memperoleh hewan beban dan bantuan anak lelaki bernama Tiglat, ia berjalan sepanjang jalan Damaskus ke sebuah desa yang pernah dikenal sebagai Beit Jenn di kaki Gunung Hermon. Di sini, dekat pertengahan Agustus, 25 M, ia mendirikan markasnya, dan dengan meninggalkan perbekalannya dalam penjagaan Tiglat, ia naik lereng-lereng gunung yang sepi. Tiglat menyertai Yesus pada hari pertama ini naik gunung sampai ke suatu tempat sekitar 1800meterdi atas permukaan laut, dimana mereka membangun sebuah wadah batu yang di dalamnya Tiglat akan menaruh makanan dua kali seminggu.   134:8.1 (1492.8) After spending some time in the vicinity of Caesarea-Philippi, Jesus made ready his supplies, and securing a beast of burden and a lad named Tiglath, he proceeded along the Damascus road to a village sometime known as Beit Jenn in the foothills of Mount Hermon. Here, near the middle of August, a.d. 25, he established his headquarters, and leaving his supplies in the custody of Tiglath, he ascended the lonely slopes of the mountain. Tiglath accompanied Jesus this first day up the mountain to a designated point about 6,000 feet above sea level, where they built a stone container in which Tiglath was to deposit food twice a week.
134:8.2 (1493.1) Hari pertama, setelah ia meninggalkan Tiglat, Yesus naik gunung tidak jauh ketika ia berhenti untuk berdoa. Antara lain ia meminta Bapanya untuk mengirim kembali serafim penjaganya agar “bersama Tiglat.” Ia meminta agar ia diizinkan untuk naik ke perjuangan terakhirnya dengan realitas keberadaan manusia sendirian. Dan permintaannya dikabulkan. Ia pergi ke dalam ujian besar dengan hanya Pelaras yang mendiaminya yang membimbing dan mendukung dia.   134:8.2 (1493.1) The first day, after he had left Tiglath, Jesus had ascended the mountain only a short way when he paused to pray. Among other things he asked his Father to send back the guardian seraphim to “be with Tiglath.” He requested that he be permitted to go up to his last struggle with the realities of mortal existence alone. And his request was granted. He went into the great test with only his indwelling Adjuster to guide and sustain him.
134:8.3 (1493.2) Yesus makan dengan hemat sementara di gunung; ia pantang dari semua makanan hanya satu atau dua hari pada satu waktu. Sosok-sosok supramanusia yang menghadapinya di atas gunung ini, dan dengan siapa ia bergumul dalam roh, dan yang ia kalahkan dalam kuasa, adalah nyata; mereka adalah musuh-musuh bebuyutannya dalam sistem Satania; mereka bukan fantasi dari imajinasi yang berkembang dari tingkah aneh intelektual, dari manusia yang lemah dan kelaparan, yang tidak bisa membedakan antara realitas dengan visi-visi batin yang kacau.   134:8.3 (1493.2) Jesus ate frugally while on the mountain; he abstained from all food only a day or two at a time. The superhuman beings who confronted him on this mountain, and with whom he wrestled in spirit, and whom he defeated in power, were real; they were his archenemies in the system of Satania; they were not phantasms of the imagination evolved out of the intellectual vagaries of a weakened and starving mortal who could not distinguish reality from the visions of a disordered mind.
134:8.4 (1493.3) Yesus menghabiskan tiga minggu terakhir bulan Agustus dan tiga minggu pertama September di atas Gunung Hermon. Selama minggu-minggu ini ia menyelesaikan tugas manusia fana untuk mencapai lingkaran-lingkaran pemahaman-batin dan pengendalian-kepribadian. Selama periode persekutuan dengan Bapa surgawinya ini Pelaras yang mendiaminya juga menyelesaikan layanan-layanan yang ditugaskan. Tujuan fana dari makhluk bumi ini tercapai di sana. Hanya tahap akhir dari penyesuaian batin dan Pelaras yang masih perlu dirampungkan.   134:8.4 (1493.3) Jesus spent the last three weeks of August and the first three weeks of September on Mount Hermon. During these weeks he finished the mortal task of achieving the circles of mind-understanding and personality-control. Throughout this period of communion with his heavenly Father the indwelling Adjuster also completed the assigned services. The mortal goal of this earth creature was there attained. Only the final phase of mind and Adjuster attunement remained to be consummated.
134:8.5 (1493.4) Setelah lebih dari lima minggu persekutuan tanpa putus dengan Bapa Firdausnya, Yesus menjadi benar-benar yakin akan sifat dasar atau kodratnya dan kepastian kemenangannya atas manifestasi kepribadian ruang-waktu pada tingkatan jasmani. Ia sepenuhnya percaya, dan tidak ragu-ragu untuk menyatakan, tentang naiknya kodrat ilahinya atas kodrat manusiawinya.   134:8.5 (1493.4) After more than five weeks of unbroken communion with his Paradise Father, Jesus became absolutely assured of his nature and of the certainty of his triumph over the material levels of time-space personality manifestation. He fully believed in, and did not hesitate to assert, the ascendancy of his divine nature over his human nature.
134:8.6 (1493.5) Menjelang akhir tinggal di gunung itu Yesus bertanya pada Bapanya apakah ia diperbolehkan untuk mengadakan pertemuan dengan musuh-musuhnya di Satania sebagai Anak Manusia, sebagai Yosua bin Yusuf. Permintaan ini dikabulkan. Selama pekan terakhir di Gunung Hermon terjadilah godaan besar, pencobaan alam semesta. Satan (mewakili Lucifer) dan Pangeran Planet pemberontak, Kaligastia, hadir dengan Yesus dan dibuat sepenuhnya terlihat kepadanya. “Pencobaan” ini, ujian akhir kesetiaan manusia ini dalam menghadapi kekeliruan sosok-sosok kepribadian pemberontak ini, tidak ada hubungannya dengan makanan, bubungan atap bait suci, atau tindakan-tindakan gegabah. Hal itu tidak ada hubungannya dengan kerajaan dunia ini tetapi dengan kedaulatan sebuah alam semesta yang perkasa dan mulia. Simbolisme di catatanmu itu dimaksudkan untuk zaman-zaman dunia yang masih terbelakang dengan pemikiran yang masih kekanak-kanakan. Generasi-generasi berikutnya harus memahami alangkah besarnya perjuangan yang Anak Manusia lewati pada hari yang penting di Gunung Hermon itu.   134:8.6 (1493.5) Near the end of the mountain sojourn Jesus asked his Father if he might be permitted to hold conference with his Satania enemies as the Son of Man, as Joshua ben Joseph. This request was granted. During the last week on Mount Hermon the great temptation, the universe trial, occurred. Satan (representing Lucifer) and the rebellious Planetary Prince, Caligastia, were present with Jesus and were made fully visible to him. And this “temptation,” this final trial of human loyalty in the face of the misrepresentations of rebel personalities, had not to do with food, temple pinnacles, or presumptuous acts. It had not to do with the kingdoms of this world but with the sovereignty of a mighty and glorious universe. The symbolism of your records was intended for the backward ages of the world’s childlike thought. And subsequent generations should understand what a great struggle the Son of Man passed through that eventful day on Mount Hermon.
134:8.7 (1493.6) Terhadap banyak usulan dan usulan balasan dari utusan-utusan Lucifer itu, Yesus hanya membuat jawaban: “Biarlah kehendak Bapa Firdausku yang berlaku, dan kalian, anakku yang memberontak, biarlah Yang Purba Harinya menghakimi kalian secara ilahi. Aku adalah Pencipta sekaligus bapamu; aku sulit menghakimi kalian dengan adil, dan rahmatku telah kalian tolak. Aku menyerahkan kalian pada pengadilan Hakim alam semesta yang lebih besar.”   134:8.7 (1493.6) To the many proposals and counterproposals of the emissaries of Lucifer, Jesus only made reply: “May the will of my Paradise Father prevail, and you, my rebellious son, may the Ancients of Days judge you divinely. I am your Creator-father; I can hardly judge you justly, and my mercy you have already spurned. I commit you to the adjudication of the Judges of a greater universe.”
134:8.8 (1494.1) Terhadap semua kompromi dan perubahan yang Lucifer sarankan, untuk semua proposal yang sepertinya bagus tentang penganugerahan inkarnasi itu, Yesus hanya membuat jawaban, “Kehendak Bapaku di Firdaus jadilah.” Setelah pencobaan sulit itu selesai, serafim penjaga yang dipisahkan itu kembali ke sisi Yesus dan melayani dia.   134:8.8 (1494.1) To all the Lucifer-suggested compromises and makeshifts, to all such specious proposals about the incarnation bestowal, Jesus only made reply, “The will of my Father in Paradise be done.” And when the trying ordeal was finished, the detached guardian seraphim returned to Jesus’ side and ministered to him.
134:8.9 (1494.2) Pada suatu sore akhir musim panas, di tengah pepohonan dan dalam keheningan alam, Mikhael dari Nebadon memenangi kedaulatan mutlak atas alam semestanya. Pada hari itu ia menyelesaikan perangkat tugas untuk para Putra Pencipta untuk menghidupi hingga penuh hidup penjelmaan dalam keserupaan dengan manusia fana di dunia evolusi waktu dan ruang. Pengumuman alam semesta tentang pencapaian penting ini belum dibuat sampai hari baptisannya, beberapa bulan kemudian, tetapi itu semua benar-benar terjadi pada hari itu di gunung. Dan ketika Yesus turun dari perjalanannya di Gunung Hermon, pemberontakan Lucifer di Satania dan pembelotan Kaligastia di Urantia pada hakikatnya telah diselesaikan. Yesus telah membayar harga terakhir yang dituntut darinya untuk mencapai kedaulatan alam semestanya, yang dengan sendirinya mengatur status semua pemberontak dan menentukan bahwa semua pergolakan di masa yang akan datang (jika hal-hal itu pernah terjadi) bisa ditangani secara langsung (tanpa banyak pertimbangan lagi) dan efektif. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa yang disebut “pencobaan besar” Yesus terjadi beberapa waktu sebelum baptisannya dan bukan hanya setelah peristiwa itu.   134:8.9 (1494.2) On an afternoon in late summer, amid the trees and in the silence of nature, Michael of Nebadon won the unquestioned sovereignty of his universe. On that day he completed the task set for Creator Sons to live to the full the incarnated life in the likeness of mortal flesh on the evolutionary worlds of time and space. The universe announcement of this momentous achievement was not made until the day of his baptism, months afterward, but it all really took place that day on the mountain. And when Jesus came down from his sojourn on Mount Hermon, the Lucifer rebellion in Satania and the Caligastia secession on Urantia were virtually settled. Jesus had paid the last price required of him to attain the sovereignty of his universe, which in itself regulates the status of all rebels and determines that all such future upheavals (if they ever occur) may be dealt with summarily and effectively. Accordingly, it may be seen that the so-called “great temptation” of Jesus took place sometime before his baptism and not just after that event.
134:8.10 (1494.3) Pada akhir kunjungan di gunung ini, ketika Yesus berjalan turun, ia bertemu Tiglat sedang naik ke tempat pertemuan dengan makanan. Sambil menyuruhnya kembali, ia hanya mengatakan: “Masa istirahat sudah lewat; aku harus kembali pada pekerjaan Bapaku.” Ia menjadi seorang yang pendiam dan banyak berubah ketika mereka berjalan kembali ke Dan, di mana ia berpamitan dari anak itu, sambil memberikan keledai itu kepadanya. Ia kemudian melanjutkan ke selatan melalui jalan yang sama seperti ia datang, ke Kapernaum.   134:8.10 (1494.3) At the end of this sojourn on the mountain, as Jesus was making his descent, he met Tiglath coming up to the rendezvous with food. Turning him back, he said only: “The period of rest is over; I must return to my Father’s business.” He was a silent and much changed man as they journeyed back to Dan, where he took leave of the lad, giving him the donkey. He then proceeded south by the same way he had come, to Capernaum.
9. Waktu Menunggu ^top   9. The Time of Waiting ^top
134:9.1 (1494.4) Sekarang sudah dekat akhir musim panas, sekitar waktu hari penebusan dan perayaan Pondok Daun. Yesus mengadakan pertemuan keluarga di Kapernaum selama hari Sabat dan hari berikutnya berangkat ke Yerusalem dengan Yohanes anak Zebedeus, pergi melalui timur danau lewat Gerasa dan terus menuruni lembah Yordan. Meskipun ia sedikit bercakap-cakap dengan Yohanes di jalan, Yohanes mencatat perubahan besar dalam diri Yesus.   134:9.1 (1494.4) It was now near the end of the summer, about the time of the day of atonement and the feast of tabernacles. Jesus had a family meeting in Capernaum over the Sabbath and the next day started for Jerusalem with John the son of Zebedee, going to the east of the lake and by Gerasa and on down the Jordan valley. While he visited some with his companion on the way, John noted a great change in Jesus.
134:9.2 (1494.5) Yesus dan Yohanes singgah bermalam di Betania dengan Lazarus dan adik-adiknya, pergi pagi-pagi berikutnya ke Yerusalem. Mereka menghabiskan hampir tiga minggu dalam dan sekitar kota, setidaknya Yohanes yang berbuat demikian. Banyak hari Yohanes pergi ke Yerusalem sendirian sementara Yesus berjalan sekitar bukit-bukit yang berdekatan dan terlibat dalam banyak persekutuan rohani dengan Bapanya di surga.   134:9.2 (1494.5) Jesus and John stopped overnight at Bethany with Lazarus and his sisters, going early the next morning to Jerusalem. They spent almost three weeks in and around the city, at least John did. Many days John went into Jerusalem alone while Jesus walked about over the near-by hills and engaged in many seasons of spiritual communion with his Father in heaven.
134:9.3 (1494.6) Keduanya hadir pada layanan khidmat pada hari penebusan. Yohanes amat terkesan oleh upacara-upacara hari ini daripada semua hari dalam ritual keagamaan Yahudi, tetapi Yesus tetap menjadi penonton yang berpikir dan diam. Bagi Anak Manusia upacara ini menyedihkan dan patut dikasihani. Ia memandang itu semua sebagai representasi keliru tentang karakter dan sifat Bapanya di surga. Ia memandang perbuatan hari ini sebagai pelanggaran terhadap fakta-fakta keadilan ilahi dan kebenaran rahmat yang tanpa batas. Ia ingin melampiaskan deklarasi kebenaran nyata tentang karakter pengasih dan perbuatan penuh rahmat Bapanya di alam semesta, namun Monitornya yang setia menasihatinya bahwa saatnya belum tiba. Tetapi malam itu, di Betania, Yesus mengucapkan banyak komentar yang sangat mengusik Yohanes; dan Yohanes tidak pernah sepenuhnya memahami makna sebenarnya apa yang dikatakan Yesus dalam temu dengar mereka malam itu.   134:9.3 (1494.6) Both of them were present at the solemn services of the day of atonement. John was much impressed by the ceremonies of this day of all days in the Jewish religious ritual, but Jesus remained a thoughtful and silent spectator. To the Son of Man this performance was pitiful and pathetic. He viewed it all as misrepresentative of the character and attributes of his Father in heaven. He looked upon the doings of this day as a travesty upon the facts of divine justice and the truths of infinite mercy. He burned to give vent to the declaration of the real truth about his Father’s loving character and merciful conduct in the universe, but his faithful Monitor admonished him that his hour had not yet come. But that night, at Bethany, Jesus did drop numerous remarks which greatly disturbed John; and John never fully understood the real significance of what Jesus said in their hearing that evening.
134:9.4 (1495.1) Yesus berencana untuk tetap tinggal sepanjang minggu hari raya Pondok Daun dengan Yohanes. Perayaan ini adalah liburan tahunan seluruh Palestina; waktu itu adalah waktu liburan orang Yahudi. Meskipun Yesus tidak ikut serta dalam kegembiraan acara tersebut, tampak jelas bahwa ia mendapat kesenangan dan mengalami kepuasan ketika ia melihat perbuatan bebas yang ringan hati dan sukacita dari yang muda dan yang tua.   134:9.4 (1495.1) Jesus planned to remain throughout the week of the feast of tabernacles with John. This feast was the annual holiday of all Palestine; it was the Jewish vacation time. Although Jesus did not participate in the merriment of the occasion, it was evident that he derived pleasure and experienced satisfaction as he beheld the lighthearted and joyous abandon of the young and the old.
134:9.5 (1495.2) Di tengah minggu perayaan dan sebelum perayaan itu selesai, Yesus berpamitan dari Yohanes, mengatakan bahwa ia ingin beristirahat ke bukit dimana ia mungkin bersekutu lebih baik dengan Bapa Firdausnya. Yohanes ingin pergi dengan dia, tetapi Yesus tetap kukuh agar ia tetap tinggal mengikuti perayaan, mengatakan: “Tidak perlu kamu menanggung beban Anak Manusia; hanya penjaga yang harus tetap berjaga-jaga sementara kota tidur dalam damai.” Yesus tidak kembali ke Yerusalem. Setelah hampir satu minggu sendirian di bukit-bukit dekat Betania, ia berangkat ke Kapernaum. Dalam perjalanan pulang ia menghabiskan sehari dan semalam sendirian di lereng Gilboa, dekat tempat Raja Saul kehilangan nyawanya; dan ketika ia tiba di Kapernaum, ia tampak lebih ceria daripada ketika ia meninggalkan Yohanes di Yerusalem.   134:9.5 (1495.2) In the midst of the week of celebration and ere the festivities were finished, Jesus took leave of John, saying that he desired to retire to the hills where he might the better commune with his Paradise Father. John would have gone with him, but Jesus insisted that he stay through the festivities, saying: “It is not required of you to bear the burden of the Son of Man; only the watchman must keep vigil while the city sleeps in peace.” Jesus did not return to Jerusalem. After almost a week alone in the hills near Bethany, he departed for Capernaum. On the way home he spent a day and a night alone on the slopes of Gilboa, near where King Saul had taken his life; and when he arrived at Capernaum, he seemed more cheerful than when he had left John in Jerusalem.
134:9.6 (1495.3) Keesokan paginya Yesus pergi ke kotak peralatan yang berisi barang-barang pribadinya, yang masih ada di bengkel Zebedeus, memakai pakaian kerjanya, dan menghadirkan dirinya untuk bekerja, mengatakan, “Terpaksa aku harus tetap sibuk sementara aku menunggu waktuku tiba.” Dan ia bekerja beberapa bulan, sampai bulan Januari tahun berikutnya, di galangan kapal itu, di sisi adiknya Yakobus. Setelah periode bekerja dengan Yesus ini, tidak peduli apapun keraguan yang datang untuk mengaburkan pemahaman Yakobus tentang pekerjaan hidup Anak Manusia, tidak pernah lagi ia benar-benar dan sepenuhnya meninggalkan keyakinannya pada misi Yesus.   134:9.6 (1495.3) The next morning Jesus went to the chest containing his personal effects, which had remained in Zebedee’s workshop, put on his apron, and presented himself for work, saying, “It behooves me to keep busy while I wait for my hour to come.” And he worked several months, until January of the following year, in the boatshop, by the side of his brother James. After this period of working with Jesus, no matter what doubts came up to becloud James’s understanding of the lifework of the Son of Man, he never again really and wholly gave up his faith in the mission of Jesus.
134:9.7 (1495.4) Selama periode akhir pekerjaan Yesus di bengkel kapal ini, ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk penyelesaian interior beberapa kapal yang lebih besar. Dia berusaha keras dengan segala karya tangannya itu dan tampaknya mengalami kepuasan prestasi manusiawi setelah ia menyelesaikan sebuah karya yang bisa dipuji. Meskipun ia membuang sedikit waktu pada hal-hal yang sepele, namun ia adalah seorang pekerja yang telaten kalau berkenaan dengan hal-hal yang pokok dari setiap pekerjaan tertentu.   134:9.7 (1495.4) During this final period of Jesus’ work at the boatshop, he spent most of his time on the interior finishing of some of the larger craft. He took great pains with all his handiwork and seemed to experience the satisfaction of human achievement when he had completed a commendable piece of work. Though he wasted little time upon trifles, he was a painstaking workman when it came to the essentials of any given undertaking.
134:9.8 (1495.5) Seiring waktu berlalu, desas-desus sampai ke Kapernaum tentang adanya seorang bernama Yohanes yang sedang berkhotbah sambil membaptis orang yang bertobat di sungai Yordan, dan Yohanes mengkhotbahkan: “Kerajaan surga sudah dekat; bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis.” Yesus mendengarkan laporan-laporan ini sementara Yohanes perlahan-lahan meniti jalannya naik lembah Yordan dari arungan sungai terdekat ke Yerusalem. Tetapi Yesus bekerja terus, membuat kapal, sampai Yohanes telah berjalan naik sepanjang sungai ke sebuah titik dekat Pella dalam bulan Januari tahun berikutnya, 26 M, ketika ia meletakkan alat-alatnya, menyatakan, “Saatku telah tiba,” dan tidak lama kemudian memberikan dirinya kepada Yohanes untuk baptisan.   134:9.8 (1495.5) As time passed, rumors came to Capernaum of one John who was preaching while baptizing penitents in the Jordan, and John preached: “The kingdom of heaven is at hand; repent and be baptized.” Jesus listened to these reports as John slowly worked his way up the Jordan valley from the ford of the river nearest to Jerusalem. But Jesus worked on, making boats, until John had journeyed up the river to a point near Pella in the month of January of the next year, a.d. 26, when he laid down his tools, declaring, “My hour has come,” and presently presented himself to John for baptism.
134:9.9 (1495.6) Namun demikian perubahan besar telah terjadi atas Yesus. Hanya sedikit orang-orang yang telah menikmati kunjungan dan pelayanannya saat ia hilir mudik di negeri itu yang kemudian mengenali guru publik itu sebagai orang yang sama yang mereka telah kenal dan kasihi sebagai perorangan privat pada tahun-tahun sebelumnya. Itulah suatu alasan kegagalan para penerima mula-mula dirinya ini untuk mengenalinya dalam perannya di kemudian hari sebagai guru publik yang berwibawa. Selama tahun-tahun panjang transformasi batin dan rohnya ini telah berlangsung, dan perubahan itu diselesaikan selama kunjungan penting ke Gunung Hermon.   134:9.9 (1495.6) But a great change had been coming over Jesus. Few of the people who had enjoyed his visits and ministrations as he had gone up and down in the land ever subsequently recognized in the public teacher the same person they had known and loved as a private individual in former years. And there was a reason for this failure of his early beneficiaries to recognize him in his later role of public and authoritative teacher. For long years this transformation of mind and spirit had been in progress, and it was finished during the eventful sojourn on Mount Hermon.